
Jakarta – Seperti yang diprediksi pelaku pasar, harga emas langsung anjlok sesaat setelah risalah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) keluar yang kembali menegaskan pandangan Bank Sentral AS The Fed bahwa inflasi di AS masih berada di atas target mereka.
Pasar pun kini berekspektasi bahwa The Fed akan melanjutkan kebijakan hawkish mereka bulan depan. Pada penutupan perdagangan Rabu (22/2/2023), emas ditutup melemah di $1.825,04 (-0,51%) per troy ons.
Ini berarti emas sudah turun dalam tiga penutupan perdagangan beruntun, dengan akulumasi pelemahan sebesar 0,89 persen.
Sementara itu, pada perdagangan hari ini Kamis (23/2/2023) emas terpantau menguat tipis sebesar 0,02%, dan diperdagangkan di level $1.825,38 per troy ons.
Sepanjang bulan Februari 2023 ini, emas sudah turun 5,32%. Hal ini berbanding terbalik dengan penguatan harga sebesar 5,7% pada bulan Januari 2023.
“Risalah FOMC mendukung keyakinan jika The Fed akan tetap bertahan dengan kebijakan hawkish nya lebih lama sampai inflasi turun. Kami melihat Dolar AS dan yield langsung naik (karena risalah) dan ini tentu saja membuat emas tertekan,” tutur analis OANDA Edward Moya.
Sepanjang tahun ini, pergerakan emas sejak tahun lalu sangat dipengaruhi kebijakan The Fed. Emas berkali-kali tumbang setelah Teh Fed menaikkan suku bunga atau memberi sinyal akan mengerek suku bunga.
Kebijakan moneter yang ketat akan melambungkan dolar AS dan yield surat utang pemerintah AS. Kondisi ini tentu bukan yang hal yang bagus bagi pergerakan emas. Dolar AS yang menguat akan membuat emas semakin tidak terjangkau karena mahal.
Emas juga tidak menawarkan imbal hasil sehingga akan kalah saing dengan surat utang pemerintah AS.
Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks dolar ditutup di posisi US$ 104, 59. Posisi tersebut adalah yang tertinggi sejak 5 Januari 2023.
Sementara itu, imbal hasil surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun terbang ke 3,95. Level tersebut atau yang tertinggi sejak 9 November 2022 atau tiga bulan lebih.
Sumber: CNBC